Komisi VII Dorong Percepatan Realisasi Bauran EBT
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR ke Kawasan Industri Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/9/2020). Foto: Tasya/nvl
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris mengungkapkan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan sumber energi baru dengan memanfaatkan matahari. Hal ini diketahui berdasarkan pemaparan CEO PT Sundaya Indonesia, salah satu tenant di Kawasan Industri Sentul yang bergerak di bidang solar energy, bahwa matahari mampu menghasilkan energi yang sangat besar hingga ratusan tahun ke depan.
“Kunjungan kita ke Kawasan Industri Sentul ini dimana salah satu tenant-nya adalah PT Sundaya Indonesia dari kata “sun” sebenarnya yang artinya matahari ya. Jadi Indonesia ini punya potensi matahari yang luar biasa. Kenapa tidak kita manfaatkan menjadi salah satu sumber energi? Padahal disampaikan oleh Pak Maurice (CEO PT Sundaya Indonesia) bahwa dengan matahari itu menghasilkan luar biasa sumber energi dan sampai 100 tahun pun enggak habis-habis,” ujar Andi Yuliani usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR ke Kawasan Industri Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/9/2020).
Politisi PAN ini melihat pemanfaatan energi matahari sejalan dengan program Kementerian ESDM yang berupaya mengakselerasi realisasi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target sebesar 23 persen pada tahun 2025. Sementara saat ini bauran EBT baru tercapai sekitar 11 persen sehingga perlu ada strategi yang tepat bagi pemerintah untuk merealisasikan sesuai target yang ditetapkan dalam waktu empat tahun ke depan.
“Nah tetapi perlu kebijakan dari pemerintah, khususnya Kementerian ESDM bahwa target 23 persen di tahun 2025 itu harus segera dikejar karena sekarang ini di 2021 itu sisa empat tahun ya kita masih pada angka 11,9 persen. Padahal sisa empat tahun dari target pemerintah untuk mencapai bauran energi 23 persen,” terangnya
Anggota dapil Sulawesi Selatan II ini meminta keseriusan dan komitmen pemerintah dalam mengembangkan EBT, khususnya pemanfaatan tenaga matahari. Pemerintah didorong untuk mengidentifikasi perusahaan pengembang EBT di Indonesia dan membantu perusahaan tersebut dalam mengembangkan inovasi baru yang mampu menghasilkan EBT dan diharapkan pemerintah mengutamakan penggunaan produk dari dalam negeri.
Ia mencontohkan produk ‘Talis’ dari PT Sundaya Indonesia yang dapat menjadi pilihan pemerintah dibandingkan membeli produk impor yang dinilai lebih mahal. “Tentunya kita akan sampaikan pada pemerintah hasil Kunspek kita hari ini. Contohnya ada anggaran untuk pembelian Talis sebanyak 5000 buah. Tentu saya akan pertanyakan, beli Talis-nya dimana? Jangan sampai impor. Talisnya sudah ada di sini, kita kunjungi di PT Sundaya Indonesia sudah ada talis ini. Kenapa kita enggak beli di dalam negeri saja? Daripada impor,” tegas Andi Yuliani.
Sementara itu, CEO PT Sundaya Indonesia Maurice Adema mengatakan dukungan utama yang diperlukan dari pemerintah adalah adanya regulasi terkait supply and demand pricing. Ia menilai regulasi ini diperlukan untuk mendorong penggunaan EBT, sebab akan mengatur tinggi rendahnya tarif PLN berdasarkan supply and demand. Kebijakan ini disampaikan Maurice, sudah ditetapkan di berbagai negara di dunia seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Australia, dan Selandia Baru.
“Support yang paling utama yang dibutuhkan adalah regulasi dari supply and demand pricing. Jadi kalau sekarang ini kan harga listrik flat sepanjang 24 jam itu harga merata. Padahal cost PLN-kan jauh lebih tinggi saat beban puncak dan di tengah malam yaitu cost-nya sangat rendah malahan banyak rugi karena tidak ada demandnya. Nah seharusnya mengimplementasikan harga berdasarkan demandnya saat jam tersebut. Jika demikian, akan ada banyak orang berminat untuk investasi kepada battery system,” pinta Maurice
Pihaknya pun meminta pemerintah bersikap konsisten dalam menetapkan kebijakan tarif pemakaian listrik. Sebab hal ini juga menjadi hambatan masuknya investasi dari luar dan mengakibatkan Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga di ASEAN dalam pemanfaatan EBT.
“Jadi sekarang masih belum jelas juga dan ini sudah bertahun-tahun kebijakannya enggak jelas. Itulah masalah utama, jadi investor-investor tidak ada yang investasi ke market ini. Padahal di luar negeri di sekeliling kita, di ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Thailand dan dimanapun itu market solar sudah sangat-sangat besaran. Di Indonesia masih terbelakang sekali gara-gara kebijakan yang tidak jelas,” terang Maurice. (nap/sf)